Sabtu, 21 April 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertinggalan peradaban Islam dari peradaban lain sesungguhnya disebabkan oleh ketidakmampuan pendidikan Islam menjawab tantangan zaman. Ketidakmampuan ini bersumber dari kegagalan pendidikan Islam meletakkan sendi-sendi dasar yang kuat bagi pengembangan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamic civilization science). Bahkan, pendidikan Islam saat ini terkesan terisolasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu yang belum disadari oleh kalangan umat Islam adalah adanya perubahan “besar-besaran” yang terjadi dalam masyarakat bahkan dunia. Globalisasi meniscayakan untuk setiap individu, kelompok, bahkan agama, berfikir ulang (rethinking) terhadap eksistensinya di muka bumi ini. Dalam rangka menunjukkan eksistensinya tersebut manusia perlu proses belajar secara utuh dan seimbang. Manusia diciptakan oleh Tuhan bukan dirancang untuk dapat hidup tanpa proses belajar, maka dari itu untuk mengawali proses belajar itu ia harus mengetahui jati dirinya, dan potensi yang ia miliki. Proses belajar inilah yang kemudian menjadi basis pendidikan. Pendidikan sesungguhnya dari manusia untuk manusia, artinya hal yang mendasar yang harus dilakukan oleh segenap pelaku pendidikan, guru, birokrat, dan masyarakat adalah mencari landasan filosofis dari pendidikan itu sendiri, termasuk pendidikan Islam. Dalam konteks bangsa Indonesia, pendidikan Islam tidak bisa lepas dari pendidikan itu sendiri secara umum.Artinya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeritah, Diknas, mau tidak mau pasti berimplikasi pada pendidikan Islam. Selain itu pendidikan, secara makro, masih sering terjebak pada problem-problem yang itu sebetulnya kurang menguntungkan dari segi kualitas pendidikan. Kita bisa melihat misalnya hampir setiap ada pergantian pejabat, khususnya menteri pendidikan, maka hampir bisa dipastikan akan adanya perubahan kebijakan (policy) yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan Islam sejak dulu hingga sekarang masih menjadi pilihan alternatif terakhir (second class) setelah pendidikan umum. Ketertinggalan itu tentunya bisa dilacak dari faktor penyebabnya, baik faktor keilmuan, kelembagaan, maupun faktor sarana dan prasarana lainnya. Kualifikasi pendidikan yang bermutu tentunya dipandang dari sejauh mana out put yang ada bisa menjadi pioner dalam masyarakat dan menjadi problem solver bagi problematika umat. Untuk menciptakan manusia yang demikian tentunya perlu diupayakan secara berkelanjutan dan terencana, salah satunya dengan selalu mengevaluasi serta memperbaiki iklim yang ada. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah proses pembelajaran atau praktik-praktik pembelajaran yang ada dilembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini. Dalam konteks pembelajaran, dunia Islam saat ini masih menggunakan sistem figuratif ketimbang operatif. Dampak dari sistem figuratif ini dalam proses pembelajaran adalah terjadinya doktrinasi dalam setiap materi pelajaran. Kegiatan belajar lebih banyak menghafal daripada menganalisis, guru lebih banyak ceramah daripada berdiskusi dengan siswanya. Praktik pendidikan semacam ini oleh Ikhwanus Shafa sangat berpengaruh pada kurang terlatihnya siswa akan eksistensi pengenalan diri sebagai sasaran dari tujuan pendidikan yang mendasarinya . Oleh karena itu, pada makalah ini, saya akan berusaha menyajikan tentang ”Penyelenggaraan Pendidikan Islam di SMP” sebaik mungkin berdasarkan dari literatur-literatur yang saya dapatkan. B. Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang masalah, maka dapat kami identifikasi terhadap masalah yang akan kami uiraikan sebagai berikut : 1. Apa Itu Pendidikan Islam? 2. Apa Ciri-ciri Pendidikan Agama Islam di SMP ? 3. Bagaimana upaya Mensiasati Keterbatasan Jam Pelajaran Sebagai Strategi Peneyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Sekolah ? 4. Apa Saja Alat –alat Yang Digunakan Dalam Proses Penyelenggaraan Pendidikan? C. Tujuan Masalah Berdasarkan perumusan di atas, maka makalah ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui Apa Itu Pendidikan Islam. 2. Mengetahui Ciri-ciri Pendidikan Agama Islam di SMP. 3. Mengetahui upaya Mensiasati Keterbatasan Jam Pelajaran Sebagai Strategi Peneyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. 4. Mengetahui Alat –alat Yang Digunakan Dalam Proses Penyelenggaraan Pendidikan. BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Pendidikan Islam Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, bahasa latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, dan memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atuu guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, 1991 : 232. Pendidikan berasal dari kata “didik” sehingga menjadi “mendidik”artinya memelihara latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Adapun menurut UU No.20 tahun 2003. Tentang system Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dalam dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian, menurut Drs. Ahmad D Marimba : Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya keperibadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek kerohanian dan kejasmanian juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu pematangan yang bertitik akhir pada optimilasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya. Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan Al-quran terhadap anak-anak agar terbentuk kepribadian muslim yang sempurna. Agar anak mempunyai akhlak yang mulia anak didik diharapkan dapat memperhatikan pelajaran berbasis agama sebagai kontrol dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana dalam sejarah perkembangan Islam, pada priode permulaan dakwah Nabi Muhammad saw. Tidak langsung menuntut sahabat-sahabatnya mengamalkan syariat Islam secara sempurna sebagai yang dijabarkan dalam lima rukun Islam, akan tetapi selama 10 tahun di Makkah beliau mengajarkan Islam lebih dahulu menitik beratkan kepada pembinaan landasan fundamental yang berupa keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Karena dari landasan inilah manusia akan berahlak yang baik. Hal ini merupakan implementasi dari aqidah. B. Ciri-Ciri Pendidikan Agama Islam di SMP. Adapun Lembaga-lembaga pendidikan diantaranya SMP/MTS yang berbasis Islam diharuskannya memiliki beberapa ciri dalam proses belajar-mengajar terhadap Mata Pelajaran sebagai berikut : 1. Menerapkan tata cara membaca Al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara membaca “Al”- Syamsiyah dan “Al”- Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf. 2. Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna. 3. Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah. 4. Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat. 5. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara. C. Upaya Mensiasati Keterbatasan Jam Pelajaran Sebagai Strategi Peneyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita tidak pandai mensiasatinya maka informasi yang diterima pelajar khawatir hanya akan menyentuh aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan psikomotor tidak dapat tersentuh. Dalam masalah akhlak mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) para pelajar dapat menjawab dengan tepat bahkan bisa menyebutkan dalil naqlinya bahwa etika makan dan minum dalam Islam diantaranya tidak boleh sambil berdiri, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih saja makan dan minum sambil berdiri. Dalam masalah ibadah para pelajar mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) dapat menjawab dengan tepat bahwa salat lima waktu itu hukumnya wajib bila ditinggalkan berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih enggan melakukan shalat. Hal ini tentu tidak kita harapkan karena apa yang dilakukan para pelajar tidak sesuai dengan apa yang telah diketahuinya, diakui atau tidak kenyataan itu membuktikan bahwa pendidikan Agama Islam masih belum berhasil. Upaya untuk mensiasati keterbatasan jam pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah : 1. Menyeleggarakan Bina Rohani Islam (ROHIS) Kegiatan Bina Rohani Islam (ROHIS), dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan kegiatan ini perlu dibuat program kerja yang matang sehingga dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, didanai dengan dana yang cukup, materi yang disampaikan dapat menunjang materi intrakurikuler dengan menggunakan metode yang menyenangkan tapi tetap edukatif serta memanfaatkan tenaga pengajar yang ada di lingkungan sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam. a. Waktu Penyelenggaraan Bina Rohani Islam (ROHIS) Untuk sekolah yang menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi hari saja maka waktu penyelenggaran kegiatan Bina Rohani Islam (Rohis) dapat dilakukan setiap hari setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar dengan lama pertemuan sekitar satu jam setengah (90 menit). Dua hari untuk kelas satu (hari Senin dan Selasa) dua hari untuk kelas dua (Rabu dan Kamis) dan satu hari untuk kelas tiga pada hari Jum’at (Untuk putri dilakukan setelah Kegiatan Belajar Mengajar pada saat pelajar putra Salat Jum’at, sedangkan untuk putera dilakukan setelah salat jum’at). Sebagai contoh untuk memperjelas pendistribusian waktu penyelenggaraan Bina Rohani Islam bagi sekolah-sekolah yang menyelenggarakan KBM pada pagi hari saja dan selesai kegiatan belajar mengajar pada pukul 13.30 WIB, berikut ini terdapat jadwal penyelenggaraan Bina Rohani Islam yang dilakukan di SMP untuk kelas I sampai dengan kelas III yang masing-masing tingkat terdiri dari sembilan rombongan belajar dan masing-masing rombogan belajar mengikuti satu kali kegiatan Bina Rohani Islam dalam satu minggu. Contoh Jadwal Penyelenggaraan Bina Rohani Islam ; No Hari Kelas Waktu Keterangan 1 Senin I (A,B,C,D) 14.00-15.30 2 Selasa I (E,F,G,H,I) 14.00-15.30 3 Rabu II (A,B,C,D,E) 14.00-15.30 4 Kamis II (F,G,H,I) 14.00-15.30 5 Jum’at III (A- I Putri) III (A- I Putra) 11.30-13.00 13.00-14.30 Sementara untuk sekolah yang menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi dan siang hari Bina Rohani Islam dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan hari-hari yang kegiatan belajar mengajarnya tidak penuh. Sebagai contoh untuk kelas siang para pelajar putrinya bisa memanfaatkan hari jum’at setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas pagi ketika para pelajar putra salat Jum’at. Sementara untuk para pelajar putra bisa memanfaatkan hari Sabtu setalah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas pagi sebelum mereka melakukan kegiatan belajar mengajar pada siang harinya. Kemudian untuk para pelajar kelas pagi bisa memanfaatkan waktu siang hari setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar dengan memanfaatkan kelas yang tersisa dan ruangan-ruangan lain yang bisa di pergunakan termasuk bisa menggunakan musola, aula dan lain-lain. Bahkan jika guru agama dan seluruh aparat sekolah mempunyai keinginan yang kuat untuk menyelenggarakan kegiatan Bina Rohani Islam, kegiatan tersebut dapat dilakukan tanpa memerlukan ruangan khusus, bisa saja kegiatan itu di lakukan di taman-taman sekolah, lapangan olah raga dan tempat-tempat lainnya. b. Sumber Dana Penyelenggaraan Bina Rohani Islam Sumber dana bina Rohani Islam bisa disusun sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukan ke dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dana tersebut dapat di distribusikan untuk seluruh kegaiatan yang ada kaitannya dengan Bina Rohani Islam termasuk didalamnya biaya pengganti transport para pembimbing Bina Rohani Islam. c. Materi Yang Disajikan Materi yang disajikan dalam Bina Rohani Islam hendaknya dapat menunjang materi intrakurikuler, dengan penekanan pada pendalaman pemahaman dan kemampuan membaca Al Qur’an tapi tidak melupakan materi-materi lain seperti Aqidah, Ahlak, Ibadah, Tarikh dan doa-doa pilihan. Mengapa harus demikian ?. Karena tujuan semula penyelenggaraan Bina Rohani Islam adalah dalam rangka mensiasati keterbatasan jam mengajar di kelas. d. Tehnik dan Metode Penyampaian Materi. Pada pertemuan pertama para pembimbing Bina Rohani Islam mengelompokan dan menginventarisir pelajar yang sudah mampu membaca Al-Quran dan yang belum. Pelajar yang telah dikelompokkan tersebut untuk pertemuan selanjutnya dianjurkan membawa Al-Qur’an bagi yang sudah mampu membacanya dan membawa Buku Iqro bagi yang belum mampu membaca Al-Qur’an. Untuk pertemuan berikutnya, pada empat puluh menit pertama dipergunakan untuk pendalaman Baca Tulis Qur’an (BTQ). Bagi yang sudah mampu membaca Al-Qur’an dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an sendiri, lebih baik lagi bila melakukan hapalan dan bagi yang belum mampu membaca Al-Qur’an dibimbing oleh pembimbing Bina Rohani Islam untuk mempelajari Iqro, dan bila perlu pembimbing bisa meminta bantuan pelajar yang telah mampu membaca Al-Qur’an untuk membimbing temannya mempelajari Iqro (TUTOR SEBAYA). Kemudian tiga puluh menit berikutnya dipergunakan untuk penyampaian materi yang telah direncanakan dan tersusun dalam Garis-Garis Besar Pengajaran (GBPP – ROHIS). Selanjutnya dua puluh menit terakhir dipergunakan untuk hapalan Al-qur’an surat-surat pendek dan surat-surat pilihan yang telah direncanakan. Metode penyampaian materi diusahakan menghindari metode satu arah (ceramah), tapi diharapkan para pembimbing rohani Islam mampu menggunakan berbagai macam metode kreatif dengan harapan metode tersebut bisa menumbuhkan semangat pelajar untuk belajar tanpa menimbulkan kejenuhan. Prinsip yang harus dipegang oleh para pembimbing rohani Islam metode tersebut dapat menyampaikan pesan keislaman sebanyak-banyaknya kepada para pelajar dan dapat menimbulkan gairah untuk mengamalkan inti ajaran Islam yang diperolehnya dengan penuh keikhlasan. e. Tenaga Pengajar (Pembimbing Bina Rohani Islam) Yang menjadi tenaga pengajar atau pembimbing Bina Rohani Islam tidak hanya guru Pendidikan Agama Islam saja, jika kekurangan tenaga pengajar maka Kepala Sekolah bisa menunjuk guru mata pelajaran lain yang memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Atau jika perlu bisa mengadakan kerja sama dengan para ustadz atau ustadzah dan lembaga-lembaga keagamaan lain yang ada di sekitar sekolah. 2. Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan (Islamisasi Kampus). Islamisasi kampus, memang terasa sangat ekstrim. Tetapi hal ini dimaksudkan agar seluruh warga sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagian syariat Islam di lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan sekolah tersebut. Islamisasi kampus itu diantaranya bisa dilakukan melalui : a. Setiap hari sebelum belajar diusahakan setiap pelajar membaca Al-Qur’an antara 5 s/d 10 ayat. Siswa yang telah bisa membaca Al-Qur’an diharapkan dapat membantu temannya yang masih belum bisa membaca Al-Qur’an. Sehingga saat menghadapi ujian praktek Pendidikan Agama Islam seluruh pelajar telah dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. b. Waktu istirahat disesuaikan dengan waktu salat Dzuhur, sehingga seluruh aparat sekolah dan para pelajar bisa melakukan salat tepat waktu. Dalam hal ini perlu dibuat komitmen yang serius sehingga waktu istirahat benar-benar digunakan untuk salat. c. Setiap hari jum’at (bagi yang memiliki Mesjid) mengadakan salat Jum’at berjamaah di Mesjid (Musola) yang ada di lingkungan sekolah. Seluruh pelajar mewakili kelasnya bergiliran menjadi petugas salat Jum’at seperti muadzin dan bilal. Sedangkan guru-guru yang beragama Islam diharapkan bisa bergiliran menjadi Imam dan Khatib Jum’at. d. Setiap hari Jum’at seluruh pelajar yang beragama Islam, guru-guru dan seluruh aparat sekolah dianjurkan untuk memakai busana muslim baik laki-laki maupun perempuan (di tingkat SLTP anak laki-laki memakai baju koko dan celana panjang sedangkan untuk anak perempuan memakai kerudung dan rok panjang) e. Setiap hari ada mata pelajaran Agama Islam seluruh pelajar yang beragama Islam diwajibkan memakai busana Muslim baik laki-laki maupun perempuan. f. Pihak sekolah baik pembina OSIS maupun BP/BK (di tingkat SLTP) tidak lagi mempermasalahkan jika ada para pelajar putra yang memakai celana panjang setiap hari dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menutup auratnya, mengingat aturan yang ada baru memberikan kesempatan untuk menutup aurat bagi para pelajar putri. g. Setiap bulan ramadhan dan libur semester harus diadakan kegiatan pesantren kilat. h. Setiap bulan Ramadhan melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan zakat maal dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui mekanisme pembagian zakat melalui praktek. i. Setiap bulan Dzulhijjah menyelenggarakan kegiatan qurban di sekolah dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan ibadah qurban dan bagaiman mekanisme pembagian hewan daging qurban. j. Ketika menyelenggarakan peringatan hari besar Islam (PHBI) tidak hanya diisi dengan kegiatan ceramah tapi bisa melakukan kegiatan lain yang bisa lebih menyentuh hati dan ingatan anak seperti melakukan bakti sosial, pemutaran film-film Islam baik yang berupa film-film perjuangan maupun film-film dokumenter, cerdas-cermat Al Qur’an dan kegiatan-kegiatan lainnya. Semua hal tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik bahkan bisa menciptakan suasana kondusif di lingkungan sekolah jika seluruh guru dan seluruh aparat sekolah mempunyai tanggung jawab dan keinginan yang sama dalam membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. 3. Menggunakan Metode Insersi (Sisipan) dalam KBM Metode Insersi adalah cara menyajikan bahan pelajaran degan cara ; inti sari ajaran Islam atau jiwa agama atau emosi religius diselipkan atau disisipkan di dalam mata pelajaran umum (Tayar Yusuf, 1995 : 73). Untuk menggunakan metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain (mata pelajaran umum) agar pesan-pesan keagaamaan bisa disampaikan melalui pelajaran umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak terasa bahwa sesungguhnya saat itu para pelajar sedang mendapatkan suntikan keagamaan oleh guru mata pelajaran yang bukan pelajaran agama. Metode insersi ini bisa dilakukan melalui seluruh mata pelajaran, sebagai contoh ketika guru mata pelajaran ekonomi mengajarkan tentang barter dan jual beli maka bisa disisipkan jiwa agama berupa informasi tentang perlunya ijab kabul dan perlunya pencatatan transaksi jual beli yang tidak dengan cara tunai sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Atau contoh lain ketika melakukan praktikum IPA, guru IPA bisa mneyampaikan perlunya kejujuran, ketelitian dan kesabaran dalam melakukan praktek, sebab tanpa semua itu hasil dari praktek tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. D. Alat –alat Yang Digunakan Dalam Proses Pendidikan Alat pendidikan berperan penting dalam proses belajar mengajar untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan harapan. Peran alat pendidikan perlu dikembangkan secara optimal agar menunjang kelancaran proses pendidikan. Ahmadi (1991:140) menyatakan bahwa alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi, dengan perbuatan dan situasi mana, dicita-citakan dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Muharam A.(2009:127) menyatakan bahwa alat pendidikan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk kegiatan pendidikan, baik berbentuk material maupun non material. Indra kusumah (1973:138) menyatakan bahwa alat pendidikan berupa perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang secara konkrit dan tegas dilaksanakan, guna menjaga agar proses pendidikan bisa berjalan dengan lancar dan berhasil. Ada tiga unsur sebagai pendukung atau penunjang dalam penyelenggaraan pendidikan agar mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu : 1. Tersedianya sarana prasarana yang memadai, yaitu berupa ruangan, bangunan atau tempat tertentu misalnya ruangan kelas, bangunan sekolah, perpustakaan, masjid, laboratorium, museum, koperasi, dan lain sebagainnya. 2. Metode yang menarik. Sehubungan itu dianjurkan agar menggunakan metode yang menarik perhatian peserta didik. Misalnya dalam pemberian nasehat atau ceramah diselingi oleh kisah-kisah para Nabi, sahabat, atau orang-oarng salih. Juga hendaknya jangan hanya menggunakan satu metode saja, tapi gunakan juga metode-metode yang lainnya. Lebih baik lagi apabila dengan disertai menggunakan alat peraga. 3. Pengelolaan atau manajemen yang profesional. Untuk mencapai hasil pendidikan sesuai yang diharapkan maka diperlukan pengelolaan atau manajemen yang profesional. Ketertinggalan-sebagian umat Islam dalam bidang pendidikan pada masa sekarang ini disebabkan karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, kurangnya kemampuan dalam hal finansial/keuangan dan kurangnya pengelolaan atau manajemen yang professional. Berdasarkan pernyataan di atas maka proses dalam penyelenggaraan pendidikan itu adalah bagaimana seorang pendidik dapat menyampaikan ilmu atau pesan kepada peserta didiknya. Penyampaian ilmu atau pesan tersebut membutuhkan adanya alat atau sarana demi tercapainya tujuan pendidikan. Alat atau sarana yang dapat menunjang tercapainya suatu tujuan pendidikan tersebut dinamakan alat pendidikan. Mengingat bahwa alat pendidikan tersebut begitu penting dalam usaha penyampaian ilmu atau pesan bagi seorang pendidik, maka pemahaman tentangnya menjadi sangat mendasar bagi seorang pendidik. BAB III PENUTUP A. Simpulan Menurut Drs. Ahmad D Marimba : Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya keperibadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek kerohanian dan kejasmanian juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu pematangan yang bertitik akhir pada optimilasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya. Adapun Lembaga-lembaga pendidikan diantaranya SMP/MTS yang berbasis Islam diharuskannya memiliki beberapa ciri dalam proses belajar-mengajar terhadap Mata Pelajaran sebagai berikut : 1. Menerapkan tata cara membaca Al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara membaca “Al”- Syamsiyah dan “Al”- Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf. 2. Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna. 3. Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah. 4. Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat. 5. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara. Untuk upaya mensiasati keterbatasan jam pelajaran sebagai strategi penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah dapat diketahui sebagai berikut ; a. Menyeleggarakan Bina Rohani Islam (ROHIS). b. Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan (Islamisasi Kampus). c. Menggunakan Metode Insersi (Sisipan) dalam KBM. Dan yang terakhir ialah alat –alat yang digunakan dalam proses penyelenggaraan Pendidikan, karena adanya sarana dan prasarana yang lengkap akan sangat memudahkan untuk para guru belajar-mengajar terhadap murid. Berikut keterangan lebih lanjut : 1. Tersedianya sarana prasarana yang memadai, yaitu berupa ruangan, bangunan atau tempat tertentu misalnya ruangan kelas, bangunan sekolah, perpustakaan, masjid, laboratorium, museum, koperasi, dan lain sebagainnya. 2. Metode yang menarik. Sehubungan itu dianjurkan agar menggunakan metode yang menarik perhatian peserta didik. Misalnya dalam pemberian nasehat atau ceramah diselingi oleh kisah-kisah para Nabi, sahabat, atau orang-oarng salih. Juga hendaknya jangan hanya menggunakan satu metode saja, tapi gunakan juga metode-metode yang lainnya. Lebih baik lagi apabila dengan disertai menggunakan alat peraga. 3. Pengelolaan atau manajemen yang profesional. Untuk mencapai hasil pendidikan sesuai yang diharapkan maka diperlukan pengelolaan atau manajemen yang profesional. Ketertinggalan-sebagian umat Islam dalam bidang pendidikan pada masa sekarang ini disebabkan karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, kurangnya kemampuan dalam hal finansial/keuangan dan kurangnya pengelolaan atau manajemen yang professional. B. Saran Saya menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk saya guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa saya mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Quthb, Muhammad. 1988. Sistem Pendidikan Islam. Bandung : Al-Ma’arif. Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. http://farhansyaddad.wordpress.com/2009/03/06/strategi-penyelenggaraan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah-umum/ http://ilmukitanih.blogspot.com/2010/05/alat-alat-pendidikan-karakteristik-alat.html KATA PENGANTAR Segala puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan ni’mat sehat wal-afiyat atas diri ini, dan alam semesta yang kian selalu bertasbih kepada-Mu merupakan suatu motivasi yang tak pernah larut dalam butir-butiran kemalasan yang selalu ada pada setiap diri umat-Mu, untuk selalu bersyukur dalam setiap syujudku atas kelancaran menyelesaikan tugas makalah ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam saya curahkan kepada pimpinan umat Islam sedunia yang telah membawa umat dari kejahiliyahan menuju cahaya terang yang penuh dengan pengetahuan dan rahmat ilahi, Nabi Muhammad saw beliaulah utusan bagi semesta alam sampai akhir zaman. Di balik terselesaikannya makalah ini, yang bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas individu pada Mata Kuliyah “Ilmu Pendidikan Islam” dengan judul “Penyelenggaraan Pendidikan Islam di SMP.” Saya selaku penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan yang kurang baik, karena saya hanyalah manusia biasa yang memiliki kekurangan ataupun kelebihan, sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt semata. Maka dari itu, kritik dan sarannya diharapkan bagi rekan pembaca demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi rekan-rekan sekalian. Sukabumi, 27-Desember-2010 Penyusun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Allah yang diberi akal sebagai bahan untuk berpikir, dimana berpikir ini ditujukkan untuk memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya, tetapi dalam hal kebenaran itu mereka memiliki persefsi yang berbeda-beda tergantung dari pandangan hidupnya serta lingkungan yang mempengaruhinya. Proses berpikir yang mereka lakukan sering disebut juga filsafat, karena berpikir itu merupakan berfilsafat. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki potensi akal yang sama tetapi cara berpikir mereka berbeda, sehingga hasil yang diperolehnyapun berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap filosof memiliki pandangan tersendiri dalam hidupnya terutma ketika menyikapi suatu permasalah yang dihadapinya meskipun itu masalahnya sama. Dapat kita lihat pada akhir dari aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para filosof, mereka memiliki aliran-aliran tersendiri, itu dihasilkan dari aktivitas berpikir yang mereka anggap benar, meskipun ada kalanya hasil dari pemikiran para filosof itu bertentangan antara filosof yang satu dengan filosof yang lain. Banyak para filsuf yang memiliki perbedaan pendangan terhadap suatu masalah yang sama, salah satunya Al-Ghazali yang memiliki pandangan yang benar terhadap suatu masalah, bahkan mengkritik besar terhadap para filsuf Barat karena bertentangan dengan pandangan Al-Ghazali yang mana pandangannya disandarkan pada pada pedoman hidupnya yakni Al-qur’an yang Allah berikan kepada umat muslim. Dalam pikirannya Al-Ghazali berusaha untuk mengembalikan kembali pemikirannya sehingga sesuai dengan tuntunan Al-qur’an, dan membersihkan bahkan menghapus pendangan para filsuf lain yang sekiranya bertentangan dengan Al-qur’an dan pandanngannya. Untuk itu dalam pembahasan makalah kali ini saya akan memaparkan pemikiran Al-Ghazali sang silsuf dan seorang sofis yang memiliki peranan penting bagi kehidupan umat muslim beserta kemajuannya. B. Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang masalah, maka dapat kami identifikasi terhadap masalah yang akan kami uiraikan sebagai berikut : 1. Riwayat Al-Ghazali ? 2. Karya-karya Al-Ghazali ? 3. Bagaimana Pemikiran Al-ghazali? C. Tujuan Masalah Berdasarkan perumusan di atas, maka makalah ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui Riwayat Al-Ghazali. 2. Mengetahui Karya-karya Al-Ghazali. 3. Mengetahui Bagaimana Pemikiran Al-ghazali. BAB II PEMBAHASAN A. Riwayat Hidup Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali kemudian dikenal dengan Imam Al-Ghazali, beliau mendapat gelar Hujjatul-Islam dan dilahirkan di Thus, sebuah kota kecil di khurasan, Iran, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf dan seorang pemintal wool atau pembuat tenunan (ghazal), dank arena itu beliau diberi nama Al-Ghazali. Al-ghazali mempunyai seprang saudara, sebelum ayahnya meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali, kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Sehingga tak mengherankan di masa kanak -kanak imam al-Ghazali banyak belajar kepada sejumlah guru di kota kelahirannya, diantaranya belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.Disebutkan bahwa dalam perjalanan pulangnya, beliau dan teman-temanya dihadang oleh sekawanan perampok yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para perampok tersebut merampas tas Imam Ghazali yang berisi buku-buku Filsafat dan ilmu pengetahuan yang disenanginya. Kemudian Al-Ghazali berharap agar perampok tersebut mengembalikannya, karena beliau sangat ingin mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku yang tersimpan dalam tas tersebut. Karena merasa iba hati dan kasihan kepadanya, akhirnya mereka mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya. Setelah kejadian itu, beliau sangat rajin mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan selalu berhati-hati dalam menaruh kitabnya di suatu tempat khusus yang aman. Setelah itu imam Ghazali pindah ke Naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Haramain, dari beliau ini al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih , karena kecerdasan Al-Ghazali Imam Juwini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan” atau bahrul mughriq ”laut yang menenggelamkan”. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur setelah Imam Al-Juwaini meninggal dunia pada tahun 1085 M / 478 H, ketika itu usia Al-Ghazali berusia 28 tahun, kemudian Al-Ghazali menuju ke Bagdad. Pada usia 34 tahun, Al-Ghazali menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyyah yang didirikan oleh Nidham Al-Mulk seorang Perdana Mentri Sultan Bani Salju, hal itu karena keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya, Nidzam Al-mulk berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan Baghdad, setelah itu beliau ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan penuh ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama. Kemudian sewaktu-waktu beliau kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar di sana, Kitab pertama yang disusun Al-Ghazali di Bagdad yaitu kitab Al-MunqiĊĵ min al-Dalal (penyelamat dari kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai literatur yang paling penting, dimana ahli-ahli sejarah mendapatkan ilmu pengetahuan tentang kehidupan Al-Ghazali. Kitab ini berisi peri kehidupannya, khususnya pada kesempatan yang merubah pandangannya tentang kehidupan dan segala nilai-nilainya. Dalam kitab ini Al-Ghazali menjelaskan bagaimana iman bisa tumbuh dalam jiwa dan bagaimana hakekat-hakekat ketuhanan dapat tersingkap bagi manusia dan bagaimana ia sampai pada pengenalan yaqin, bukan dengan jalan berpikir dan menganalisa, akan tetapi melalui jalan ilham dan mukasyafah (terbuka hijab). Sekembalinya ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, karena desakan para penguasa, yaitu Muhammad saudara Barkijaruk, beliau ke Nisabur untuk mengajar di sekolah Nizmiyyah di Naisabur pada tahun 499 H, tetapi mengajar di sana berlangsung dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau ke Thus, kota kelahiranya untuk mendirikan sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin dan pada tahun 505 H atau 1111 pada usia 54 tahun Al-Ghazali meninggal. B. Karya-Karya Al-Ghazali Al- Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam, puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (Ilmu Kalam), hukum Islam (Fiqih), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan serta autugbiografi. Pengaruh Al-Ghazali sangat besar di kalangan kaum muslimin, agama yng digambarkan olek umat muslim berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali.. Kitab yang terbesar yang ditulisnya adalah ihya ‘Ulumuddin, artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Banyak lagi buku ilmu pengetahuan yang sempat dikarang ditengah-tengah kaesibukannya ketika menjadi guru besar, antara lain Al-Basith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz dan Mamadi wa Al-Ghayat fi Fan Al-Khalaf. Buku yang lain ialah Al-Munqidz Minadh Dhalal (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhagap beberapa macam ilmu, serta jalan untummencapai Tuhan. Banyak ahli ketimuran yang menulis buku tentang Al-Ghazali, antara lain Carra De Vaux, J. Wersink, Obermann, Asia Palaciosdan Zwemmer. Tak saedikit juga penulus Barat yang menerjemahkan buku-buku Al-Ghazali terhadap berbagai bahasa Eropa seperti buku Tahafutul-Falasifah oleh Carra De Vaux, Qawaid Al’Aqaid oleh H. Bauer, Al-Munqidz Minadh-dhala Barbier de Minard, Misyakatul-Anwar oleh W.H.T.Craidner, dan Ihya “Ulumuddi oleh D.B. Mac Donald. C. Pemikiran Al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang filosof pendidikan Islam berpahan empiris, yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Selain itu Al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang multitalenta karena banyak menguasai berbagai macam ilmu, dan memiliki peranan yang sangat penting bagi umat muslim. Adapun pemikirann Al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ Ulum al-Din. Dalam pemikirannya Al-Ghazali banyak menentang pemikiran-pemikiran para filosif asal Barat seperti Socrates, Plato, Aristoteles, bahkan juga Ibnu Sina, karena pemikiran mereka berbeda dengan apa yang dicari oleh Al-Ghazali dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran agama sehingga hal itu membuat Al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka. Untuk mengenal pemikiran filsafat Imam Al-Ghazali, kita perlu meninjau empat unsur yang ditentang oleh Al-Ghazali, keempat pemikiran tersebut maempengaruhi pemikiran filsafatnya dalam mencapai kebenaran. Keempat unsur tersebut yaitu; 1. unsur pemikiran kaum mutakallimin, 2. unsur pemikiran kaum filsafat, 3. unsur kepercayaan kaum batiniah, dan 4. unsur kepercayaan kaum sufi. Pada mulanya Al-Ghazali mendalami aliran mutakallimin, akan tetapi beliau tidak puas dengan dalil-dalil mitakallimin saja. Lalu beliau mendalami filsafat karangan ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajarinya, beliau mengambil kesimpulan bahwa menggunakan akal semata-mata dalam mencari soal ketuhanan adalah seperti menggunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Masih tidak puas dengan filsafat-filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pendapat aliran batiniah. Penganut aliran ini berpendapat bahwa ilmu yang sejati atau ilmu yang mutlak itu hanya diturunkan dari “imam yang na’sum” yang suci dari kesalahan dan dosa.Tetapi ketika Al-Ghazali menanyakan dimana tempat imam yang ma’sum dan kapan bisa ditemui aliran ini tidak bisa menjawab, akhirnya Al-Ghazali menyimpulkan bahwa imam ma’sum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam kenyataan. Karena ketidakpuasan dari ketiga macam penyelidikan itu, lalu Al-ghazali meninggalkan kesibukan-kesinukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf dengan berharap akan mendapat hakikat kebenaran yang dicarinya salama ini, dan mengharapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kapada Tuhan semata. Akhirnya beliau berhasil, beliau merasa cara ini pikirannya menjadi sangat jernihm dan dengan tasawuf ini beliau merasa telah dinukakan oleh Tuhan suatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami senelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran. Dengan hasil inilah Al-Ghazali merasa puas dengan penyelidikannya, dan segala pendapatnya tentang tasawuf (yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam) ditulis dalam bukunya Ilya ‘Ulumuddin. Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: a. Dahriyyun (mirip aliran materialisme), b. Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), c. Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah). Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipu aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman. Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya sepert Ibnu Sina dan al-Farabi. Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh masalah yaitu: kelompok pendapat para filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta. Dari dua puluh permasalahan tersebut, yang terdapat dalam bukunya Tahafatul – Falasifah, ada permasalahan yang terpenting diantaranya : a. 1.Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam b. dan dunia. Dalam hal ini Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia berasal dari tidak ada menjadi ada sebab disiptakan oleh Tuhan c. 2, Al-Ghazali menyarang pendapat kaum filsafat Aristoteles pastinya tentang keabadian alam. Beliau berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah pada Tuhan. d. Al-Ghazali menyerang kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang benar saha, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil. Al-Ghazali huga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata dan mustahil ada penyelewengan dari hokum itu. Bagi al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan, dan bukan hokum kepastian. Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham: Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepadapencipta. Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi. Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu. Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874). Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama. Di atas telah dijelaskan akhir kesimpulan dari penyelidikan Al-Ghazali adalah dengan mempelajari tasawuf atau menjadi seorang sufi. Dalam buku Ihya ‘Ulumuddin didalamnya terdapat filsafat etika Al-Ghazali dalam teori tasawufnya, mengenai tujuan pokok sari etika Al-Ghazali, dapat kita temui pada semboyan tasawef yang terjenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau al-asyafu bi-shifatir-rahman ala thaqalil-basyariyah. Majsud semboyn iyu ialah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, juhud, ikhlas, beragama dan, sebagainya. Dalam Ihya ‘ulimuddin, Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah hingga akhirnya sampai begaimana bertaqarrub terhadap Tuhan sebagai jalan untuk mencapai tingkat tertinggi dalam segala kenahagiaan dunia dan akhirat (berma’rifat). Adapun untuk pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan anak telah mengemukakan pemikirannya tentang bakat, motivasi, perbedaan individu dan tingkat kecerdasan dan tingkat perkembangan berdasarka usia (Al-Ghazali:50-51). Dalam hal ini Al-Ghazali lebih menekankan pada pentingnya bimbingan dan pembiasaan dengan menyelaraskan pada tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak tetapi tidak terlepas dari nilai manfaat. Oleh sebab itu Al-Ghazali cenderung mendasarkan pemikirannnya pada prinsip ajaran tasawuf (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai guna). Ia menempatkan pendidik (guru) sebagai tokoh teladan bagi para muridnya. Untuk hal ini, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali terbagi menjadi dua yaitu, dalam jangka pendek dan jangka panjang. Untuk tujuan jangka pendek ialah diraihnya pfofesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya (al-Ibrashi, 1990). Adapun untuk jangka panjang adalah untuk mendeakatkan diri kepada Allah SWT. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendidikan harus dilaksanakan oleh guru yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri. 2. Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW. 3. Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. 4. Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat. 5. Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontohtingkahlakunya. 6. Guruharusmengajarkanpelajaransesuaitingkatkemampuanakalanakdidik. 7. Guruharusmengamalkanilmunya. 8. Guruharusbiasamengetahuijiwaanakdidiknya. 9. Guru dapat mendidik keimanan ke dalam pribadi anak didiknya. Selain harus memiliki guru (pendidik) yang baik, tujuan tersebut juga harus mimiliki kriteria murid yang baik sebagai objek dari pendidikan, menurut Al-Ghazali murid yang baik adalah sebagai berikut: a. Seorang murid harus memuliakan guru dan bersikap rendah hati. b. Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman. c. Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap tersebut. d. Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela. e. Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. f. Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. g. Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Menurut pandangan Al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan sebagai objek. Dari segi ilmu sebagai proses Al-Ghazali membagi menjadi ilmu menjadi ilmu hissiyah yang diperoleh manusia melalui penginderaan, ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir, dan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses pengindraan dan pemikiran, melainkan meluali hati atau dalam bentuk ilham (Hasan langgulung, 1986:132). Kemudian ilmu sebagai objek dapat dibagi menjadi tiga kelompok: 1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedik maupun banyak seperti sihir, karena tidak memiliki manfaat biak di dunia atau akhirat. 2. Ilmu pengetahuan yang terpuji sedikit ataupun banyak, seperti ilmu agama dan tentang ibadah. Ilmu ini dapat melepaskan manusia yang mempelajarinya dari parbuatan tercela dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari keridoan-Nya. 3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela seperti ilmu ketuhanan, cabang ilmu filsafat dan sebagian dari filsafat Naturalisme. Menurut Al-Ghazali ilmu tersebut jika diperdalam akan membuat keraguan dan kekacauan pikiran dan akhirnya akan cenderung membuat mannusia kepada kufur dan ingkar. Selanjutnya Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang, yaitu a. Ilmu syari’at, terdiri atas: 1. Ilmu Ushul (ilmu pokok): ilmu Qur’an, sunnah Nabi, pendapat para sahabat, dan ijma. 2. Ilmu furu (ilmu cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati, dan akhlak. 3. Ilmu pengantar (mukaddimah): Ilmu bahasa dan gramatika. 4. Ilmu pelengkap (mutammimah): Ilmu qira’at, mukharij al-huruf wa al-alfadz, ilmu tafsir, nasikh, dan mansukh, lafaz umum dan khusus, lafaz nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuanga sahabat (Al-Ghazali:15-16) b. Ilmu bukan syari’at, terdiri atas: 1. Ilmu yang terpuji: Ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pengusaha. Untuk ilmu pengusaha dapat diobagi menjadi a. Pokok dan utama: pertanian, pertenunan, pembangunan dan tata pemerintahan. b. Pununjang: Pertukangaan besi dan industri sandang. c. Pelengkap: Pengolahan pangan (pembuatan roti) dan pertenunan (jahit-menjahit). 2. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): Kebudayaan, sastra sejarah, dan puisi. 3. Imu yang tercela (merugikan): Ilmu tenung, sihir, dan bagian-bagian tertentu dari filsafat. BAB III PENUTUP A. Simpulan Kesimpulan yang dapat disimpulakan dari uraian pembahasan diatas adalah Pada dasarnya Al-Ghazali ini merupakan tokoh pemuka Islam yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan dan kemajuan umat Islam, karena menguasai berbagai macam ilmu. Selain itu Al-Ghazali juga adalah seorang filsuf pendidikan Islam yang berpaham empiris yang penekanannya lebih menekankan pada kepentingan pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik, dalam pembahasannya ini menekankan pada adab sebagai guru dan murid. Dalam pemikirannya, Al-Ghazali mendasarkan pada prinsip-prinsip ajaran-ajaran tasawuf, adapun untuk pemikirannya itu termuat dalam buku yang dikarangnya seperti pada buku Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ Ulum al-Din, dalam bukunya itulah pemikiran-pemikiran beliau yang banyak menentang pemikiran-pemikiran para filsul asal Barat, karena pemikiran filsuf Barat itu seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates banyak bertentangan dengan apa yang menjadi pemikiran Al-Ghazali, bahkan terhadap filsuf asal Islam Al-Ghazali menentang pemikirannya jika hal itu bertentangan dengan apa yang dicari oleh Al-Ghazali bahkan jika hal itu bertentanan dengan ajaran islam sehingga akhirnya membuat Al-Ghazali mengkafirkan mereka seperti halnya yang terjadi pada Ibnu Sina. Ketidakpuasan akan pemikiran para filsuf asal Barat, membuat Al-Ghazali mengelompokkan filsafat Yunani kedalam tiga aliran, yaitu: Dahriyyun atau mirip dengan aliran materialisme, Thabi’iyyun atau mirip aliran naturalis, dan Ilahiyyun atau mirip aliran Deisme, dan akhirnya berpindah menekuni ajaran tasawuf yang dianggapnya dapat memberikan kebahagiaan batin, karena itulah yang dicarinya. Adapun untuk pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan anak telah mengemukakan pemikirannya tentang bakat, motivasi, perbedaan individu dan tingkat kecerdasan dan tingkat perkembangan berdasarkan usia, dan dalam filsafat pendidikan ini Al-Ghazali menekankan akan adab atau sikap sebagai seorang guru dan murid. B. Saran Makalah ini merupakan tugas kelompok yang dibuat guna memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat Umum, selain itu makalah ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang baru bagi para pembaca guna menambah khazanah ilmu pengetahuannya yang mudah-mudahan bisa dijadikan referensi, akan tetapi hal itu tidak hanya terbatas akan pembahasan yang disajikan di dalam makalah ini, khususnya bagi rekan-rekan akademis yang berada dalam lingkungan STAI Sukabumi. Adapun saran yang dapat saya sampaikan akan pembahasan yang terdapat dalam isi makalah yang saya bahas ini adalah bahwa tidak semestinya kita langsung mengidentifikasikan seseorang kafir, jika hal itu berkenaan dengan pemikiran atau pandangannya telebih untuk seorang Muslim, karena dalam Islam itu sudah ada ketentuannya mana yang disebut kafir, kecuali memang para filsuf asal Barat yang pemikirannya bertolak belakang dengan ajaran Islam, karena memang mereka dalam pemikirannya tidak menyandarkan pada ajaran Islam seperti yang diyakini oleh Al-Ghazali.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai dua alat untuk mengetahui, yaitu akal dan kalbu. Akal merupakan alat untuk berpikir secara rasional melalui pengamatan dan penelitian indera terhadap objek-objek yang bersifat material. Kalbu tidak ada kaitannya dengan panca indera ia langsung memperoleh pengetahuan dari sumber pertamanya, Tuhan. Dalam sejarah Islam, kedua alat tersebut telah dikembangkan; akal dikembangkan oleh kaum teolog, kaum filosof dan kaum mufassirin, sedangkan kalbu oleh kaum sufi sejak abad ke-8 M; yang selanjutnya berkembang menjadi organisasi kaum sufi di abad ke-12 M, bertujuan melestarikan ajaran-ajaran sufi besar tentang pendekatan diri kepada Tuhan. Tarekat ini muncul setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang semula dianggap sesat. B. Rumusan Masalah Berkenaan dengan latar belakang masalah di atas yang menyangkut dengan judul makalah ini, maka beberapa masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa pengertian tarekat? 2. Bagaimana sejarah tarekat? 3. Apa saja macam-macam tarekat? 4. Bagaimana perkembangan tarekat di Indonesia C. Tujuan Penyusunan Makalah Bertitik tolak dari beberapa rumusan masalah di atas, tujuan penyusunan makalah ini adalah ingin mengetahui sekaligus menyajikan informasi yang berkenaan dengan: 1. Pengertian tarekat; 2. Sejarah tarekat; 3. macam-macam tarekat; 4. perkembangan tarekat di Indonesia; D. Metode Penyusunan Makalah Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah deskriptif, yaitu memberikan gambaran kepada pembaca mengenai isi makalah dengan menyajikan suatu penjelasan yang berkaitan dengan judul makalah, yang sesuai dengan hasil kepustakaan dari berbagai data yang diperoleh, baik dari buku maupun dari internet sebagai media informatika elektronika yang mengacu pada topik makalah. E. Sistematika Penyusunan Makalah Sistematika makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penyusunan makalah, metode penyusunan makalah dan sistematika penyusunan makalah. Bab kedua pembahasan yang terdiri atas pengertian tarekat, sejarah tarekat, macam-macam tarekat, dan perkembangan tarekat di Indonesia. Terakhir adalah bab ketiga penutup yang terdiri atas simpulan dan saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tarekat 1. Pengertian secara etimologis Tarekat berasal dari bahasa Arab : tarekaq, jamaknya tara’iq. Secara etimologi berarti : (1) jalan, cara (al-kaifiyyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab). 2. Pengertian tarekat secara terminologis Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya ”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).” Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah). B. Sejarah Tarekat Jika ditelaah secara sosiologis dengan lebih mendalam, tampak ada hubungan antara latar belakang lahirnya trend dan pola hidup sufistik dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan ‘uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Bashri (110 H.) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H.). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya), yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayyah. Demikian juga berkembangnya tasawuf filosofis yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Hallaj (309 H.). dan Ibn Arabi (637 H.), tampaknya tidak bisa terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh berkembangnya filsafat dan kejayaan para filosof peripatetik, seperti; al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain. Demikian juga halnya, munculnya gerakan tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Ghazali dan lain-lain, juga tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat itu. Mereka banyak mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at, dan tenggelam dalam keasikan filsafatnya. Sehingga sebagai antitesanya, munculah gerakan kembali ke syari’at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan istilah tasawuf sunni. Adapun tarekat, sebagai gerakan kesufian populer (massal), sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, tampaknya juga tidak begitu saja muncul. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis, maupun politis pada waktu itu. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. / 1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat. Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir (Turki dan Dinasti Buwihi). Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan. Keadaan yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat peradaban Umat Islam (1258 M.). Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa di mana-mana. Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim. Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan induk). Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan tarekat. Di antara ulama sufi yang kemudian memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan tasawuf secara praktis (tasawuf ‘amali), adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) . Kemudian menurut Al-Taftazani diikuti oleh ulama’ sufi berikutnya seperti syekh Abd. Qadir al – Jailani dan Syekh Ahmad ibn Ali al-Rifa’i. Kedua tokoh sufi tersebut kemudian dianggap sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyah yang tetap berkembang sampai sekarang. Menurut Harun Nasution sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap yaitu : tahap khanaqah, tahap thariqah dan tahap tha’ifah. 1. Tahap khanaqah Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf. 2. Tahap thariqah Sekitar abad XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri kepada Tuhan, dan di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah. 3. Tahap tha’ifah Terjadinya pada sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan lain-lain. Sebenarnya, munculnya banyak tarekat dalam Islam pada garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak madzhab dalam fiqh dan banyak firqah dalam ilmu kalam. Di dalam kalam berkembang madzhab-madzhab yang disebut dengan firqah, seperti : khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di sini istilah yang digunakan bukan mazhab tetapi firqah, di dalam fiqh juga berkembang banyak firqah yang disebut dengan madzhab seperti madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i, Zhahiri dan Syi’i. Di dalam tasawuf juga berkembang banyak madzhab, yang disebut dengan thariqah. Thariqah dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan perkembangan madzhab dan firqah dalam fiqh dan kalam , oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tarekat juga memiliki kedudukan atau posisi sebagaimana madzhab dan firqah-firqah tersebut di dalam syari’at Islam. C. Macam-macam Tarekat Jumlah Tarekat sangat banyak, akan tetapi yang memiliki anggota yang cukup banyak tersebar di banyak negara di seluruh dunia sampai kini ada tujuh, yaitu: 1. Tarekat Khalawatiyah Cabang dari Tarekat Aqidah Suhrardiyah yang didirikan di Baghdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Mereka menamakan diri golongan Siddiqiyah karena mengklaim sebagai keturunan kahlifah Abu Bakar r.a. Khalawatiyah ini didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin dan berhasil berkembang sampai ke Turki. Tidak mengherankan jika Tarekat Khalawatiyah ini banyak cabangnya antara lain; Tarekat Dhaifiyah di Mesir dan di Somalia dengan nama Salihiyah. Tarekat Khalawatiyah ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan: a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah mereka yang jahil, kikir, angkuh, sombong, pemarah, gemar kepada kejahatan, dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka ini bisa membebaskan diri dari semua sifat-sifat tidak terpuji tersebut dengan jalan memperbanyak zikir kepada Allah SWT dan mengurangi makan-minum. Maqam mereka adalah aghyar, artinya kegelap-gulitaan. b. Manusia yang berada dalam nafsul lawwamah mereka yang gemar dalam mujahaddah (meninggalkan perbuatan buruk) dan berbuat saleh, namun masih suka bermegah-megahan dan suka pamer. Cara untuk melenyapkan sifat-sifat buruk tersebut adalah mengurangi makan-minum, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering menyendiri dan memperbanyak zikir serta berpikir yang baik-baik. Maqam mereka adalah anwar, artinya cahaya yang bersinar. c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah mereka yang kuat mujahaddah dan tajrid, karena ia telah menemui isyarat-isyarat tauhid, namun belum mampu melepaskan diri dari hukum-hukum manusia. Cara untuk melepaskan kekurangannya adalah dengan jalan menyibukkan batinnya dalam Hakikat Iman dan menyibukkan diri dalam Syari’at Islam. Maqam mereka adalah kamal, artinya kesempurnaan. d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah mereka yang tidak sedikit pun meninggalkan ajaran Islam, mereka merasa nyaman jika berakhlak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan merasa belum tentram hatinya jika belum mengikuti petunjuk dan sabda Beliau. Manusia seperti ini sangat menyenangkan siapa pun yang melihatnya dan mengajaknya berbicara. e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah mereka yang sudah tidak menggantungkan diri kepada sesama manusia, melainkan hanya kepada Allah SWT. Mereka umumnya sudah melepaskan sifat-sifat manusia biasa. Maqam mereka adalah wisal, artinya sampai dan berhubungan. f. Manusia yang berada dalam nafsul mardhiyah mereka yang telah berhasil meleburkan dirinya ke dalam kecintaan khalik dan khalak, tidak ada penyelewengan dalam syuhudnya. Ia menepati segala janji Tuhan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Maqam mereka adalah tajalli af’al, artinya kelihatan Tuhan. g. Manusia yang berada dalam nafsul kamillah mereka yang dalam beribadah menyertakan badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka ini banyak beristighfar, banyak ber-tawadhu’ (rendah hati atau tidak suka menyombongkan diri). Kesenangan dan kegemarannya adalah dalam tawajjuh khalak. Maqam mereka adalah tajalli sifat, artinya tampak nyata segala sifat Tuhan. 2. Tarekat Naksyabandiyah Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari Bukhara. Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi. Tarekat Naksyabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan. Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu: a. Tobat b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya) c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja) d. Taqwa e. Qana’ah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT) f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah) Hukum yang dijadikan pegangan dalam Tarekat Naksyabandiyah ini juga ada enam, yaitu: a. Zikir b. Meninggalkan hawa nafsu c. Meninggalkan kesenangan duniawi d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT f. Mengerjakan amal kebaikan 3. Tarekat Qadiriyah Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu. Sejak kecil, Syeikh Abdul Qadir telah menunjukkan tanda-tanda sebagai Waliyullah yang besar. Ia adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauhi hal0hal yang bersifat maksiat. Ia memang lahir dan dididik dalam keluarga yang taat karena ibunya yang bernama Fatimah dan kakeknya Abdullah Sum’i adalah wali Allah SWT. Syeikh Abdul Qadir Jailani dikaruniai oleh Allah SWT keramat sejak masih muda, sekitar usia 18 tahun. Dikisahkan dalam manaqib (biografi) beliau bahwa ketika ia akan membajak sawah, sapi yang menarik bajak mengatakan kepadanya, “Engkau dilahirkan ke dunia bukan untuk kerja begini.” Peristiwa yang mengejutkan ini mendorongnya untuk bergegas pulang. Ketika ia naik ke atas atap rumah, mata batinnya melihat dengan jelas suatu majelis yang sangat besar di Padang Arafah. Setelah itu ia memohon kepada ibunya agar membaktikan dirinya kepada Allah SWT dan berkenan mengirimkannya ke kota Baghdad yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan yang terkenal bagi kaum muslimin. Dengan sangat berat hati ibunya pun mengabulkannya. Suatu hari bergabunglah Abdul Qadir Jailani dengan kafilah yang menuju Baghdad. Ketika hampir sampai di tujuan, kafilah ini dikepung oleh sekawanan perampok. Semua harta benda milik kafilah dirampas, kecuali bekal yang dibawa oleh Abdul Qadir Jailani. Salah seorang kawanan perampok kemudian mendatanginya dan bertanya, “Apa yang engkau bawa?” Dengan jujur Abdul Qadir Jailani menjawab, “Uang empat puluh dinar.” Perampok itu membawa Abdul Qadir Jailani menghadap pimpinannya dan menceritakan tentang uang empat puluh dinar. Pemimpin perampok itu pun segera meminta uang yang empat puluh dinar tadi, namun ia merasa terpesona oleh kepribadian Abdul Qadir Jailani. “Mengapa engkau berkata jujur tentang uang ini?” Dengan tenang Abdul Qadir Jailani, “Saya telah berjanji kepada ibu untuk tidak berbohong kepada siapapun dan dalam keadaan apapun. Seketika pemimpin perampok tersebut terperangah, sejenak kemudian ia menangis dan menyesali segala perbuatan zalimnya. “Mengapa saya berani terus-menerus melanggar peraturan Tuhan, sedangkan pemuda ini melanggar janji pada ibunya sendiri saja tidak berani.” Ia kemudian memerintahkan semua barang rampasan kepada pemiliknya masing-masing dan sejak itu berjanji untuk mencari rezeki dengan jalan yang halal. Semasa Abdul Qadir Jailani masih hidup, Tarekat Qadiriyah sudah berkembang ke beberapa penjuru dunia, antara lain ke Yaman yang disiarkan oleh Ali bin Al-Haddad, di Syiria oleh Muhammad Batha’, di Mesir oleh Muhammad bin Abdus Samad serta di Maroko, Turkestan dan India yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri. Mereka sangat berjasa dalam menyempurnakan Tarekat Qadiriyah. Mereka pula yang menjadikan tarekat ini sebagai gerakan yang mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk keperluan amal sosial. 4. Tarekat Rifa’yah Pendirinya Tarekat Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Tarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar. Ciri khas Tarekat Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan di mana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam. 5. Tarekat Sammaniyah Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan Syeikh Muhammad Saman, seorang guru masyhur yang mengajarkan Tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia terutama dari Aceh yang pergi ke sana mengikuti pengajarannya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Tarekat ini tersebar luas di Aceh dan terkenal dengan nama Tarekat Sammaniyah. Sebagaimana guru-guru besar Tasawuf, Syeikh Muhammad Saman terkenal akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya. Salah satu keramatnya adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan kesalahan – dipenjarakan di Mekkah dengan kaki dan leher di rantai. Dalam keadaan yang tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syeikh Muhammad Saman tiga kali, seketika terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syeikh Muhammad Saman yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan, “kulihat Syeikh Muhammad Saman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus.” Perihal awal kegiatan Syeikh Muhammad Saman dalam Tarekat dan Hakikat, menurut Kitab Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Saman, adalah sejak pertemuannya dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, di suatu ketika Syeikh Muhammad Saman berkhalwat (bertapa) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syeikh Abdul Qadir Jailani membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syeikh Muhammad Saman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon semula Syeikh Muhammad Saman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah. Tarekat Sammaniyah juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada Malam Jum’at di masjid-masjid atau mushalla sampai jauh tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh Syeikh Muhammad Saman yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai Tarekat antara lain adalah shalat sunnah Asyraq dua raka’at, shalat sunnah Dhuha dua belas raka’at, memperbanyak riadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. 6. Tarekat Syaziliyah Pendiri Tarekat Syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Tentang arti kata “Syazili” pada namanya yang banyak dipertanyakan orang kepadanya, konon ia pernah menanyakannya kepada Tuhan dan Tuhan pun memberikan jawaban, “Ya Ali, Aku tidak memberimu nama Syazili, melainkan Syazz yang berarti jarang karena keistimewaanmu dalam berkhidmat kepada-Ku. Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Apalagi setelah ia berguru pada dua ulama besar – Abu Abdullah bin Harazima dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy – yang sangat meneladani khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib. Dalam jajaran sufi, Ali Syazili dianggap seorang wali yang keramat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ia pernah mendatangi seorang guru untuk mempelajari suatu ilmu. Tanpa basa-basi sang guru mengatakan kepadanya, “Engkau mendapatkan ilmu dan petunjuk beramal dariku? Ketahuilah, sesungguhnya engkau adalah salah seorang guru ilmu-ilmu tentang dunia dan ilmu-ilmu tentang akhirat yang terbesar.” Kemudian pada suatu waktu, ketika ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurunya, seketika ada seorang anak kecil datang kepadanya, “Mengapa engkau ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurumu? Bukankah engkau tahu bahwa Ismul A’zam itu adalah engkau sendiri?” Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan: a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat. b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain. c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya. d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain. e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain. 7. Tarekat Tijaniyah Pendiri Tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Menurut sebuah riwayat, dari pihak bapaknya ia masih keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Keistimewaannya adalah pada saat ia berumur tujuh tahun, Konon Tijani sudah menghapal Alqur’an, kemudian mempelajari pengetahuan Islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia. Ketika naik haji di Madinah, Tijani berkenalan dengan Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Setelah itu ia mulai mempelajari ilmu-ilmu rahasia batin. Gurunya yang lain dalam bidang Tarekat ini ialah Abu Samghun As-Shalasah. Dari sinilah pandangan batinnya mulai terasah. Bahkan konon dalam keadaan terjaga ia bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepadanya beberapa wirid, istighfar dan shalawat yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam sehari semalam. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan agar Tijani mengajarkan wirid-wirid tersebut kepada semua orang yang menghendakinya. Wirid-wirid yang harus diamalkan dalam Tarekat Tijaniyah sangat sederhana, yaitu terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali dan tahlil seratus kali. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari yaitu pagi setelah Shalat Shubuh dan sore setelah Shalat Ashar. D. Tarekat di Indonesia Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam. Para kiai dan ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab Fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan pengadilan agama. Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap : Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia disekitar pelabuhan (Terbatas). Kedua : datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan Spanyol di Fhilipina, sampai abad XIX M; Ketiga : Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinya, maka lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Misalnya : Lahirnya tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan simbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya mendapatkan tempat di sebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya. BAB III PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan Uraian sebelumnya dapat difahami bahwa Tarekat sebanarnya telah ada Sejak munculnya Islam yakni tatkala Rasulullah SAW melakukan Takhannus atau berkhalwat di Gua Hira. Banyaknya Tarekat-tarekat yang tumbuh dan berkembang di Dunia Islam (Dinasti-dinasti Islam di Persia atau Jazirah arab dan sekitarnya) berdampak pula dengan menyebarkan Tarekat-tarekat ini di Nusantara. Diantara Faktor yang menyebabkan cepatnya tarekat ini berkembang di Nusantara adalah karena jalur perdagangan melalui laut yang sudah lancer yang bisa menghubungkan satu daerah dengan daerah lain di Nusantara bahkan di Dunia, Faktor lainnya adalahadanya kesadaran Ulama-ulama Indonesia untuk mendalami ilmu agama khususnya di luar Nusantara seperti di Makkah. Tarekat tidak bisa dibatasi dari aspek pemaknaan saja bersadarkan pemahaman yang telah berkembang sebelumnya yakni bahwa Tarekat merupakan jalan atau metode yang ditempuh untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah SWT. Kenyataannya bahwa Tarekat itu memiliki makna lain yang bisa lebih spesifik misalnya Tarekat di maknai sebagai faham Mistik yang dapat mendatangkan kekuatan gaib dan semacamnya.. B. Saran Makalah ini ditujukkan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa STAI yang merupakan cikal bakal pendidk agama Islam di masa mendatang. Dan penulis berharap makalah ini bisa menjadi salah satu soko guru dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai agama Islam dan tarekat. . DAFTAR PUSTAKA A.J. Weinsinck, M. Th. Houstma (1987) Encyclopaedia of Islam, Leiden : E.J. Brill. Ali, K (1990). A Study of Islamic History, Delhi : Idarat Adabi Al-Makky, Abu Bakar. Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’ ,Surabaya : Sahabat Ilmu Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung : Pustaka Azra Azyumardi, Islam di Asia Tenggara : Pengantar Pemikiran dalam Azyumardi Azra(Peny), Perpektif Islam diAsia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1989 Human, Djahdan (1989). Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang Madkour, Ibrahim (1995). Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat Islam , Jakarta : Bumi Aksara Muzani, Saifulah (1996). Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution , Bandung : Mizan Nasution, Harun (1982). Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press Nasution, Harun (1973). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang Supiana dan Karman (2009). Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Rosdakarya. Tafsir, Ahmad (1990). “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, Tasikmalaya: IAIIM Thohir Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,Bandung, Pustaka Hidayah, Cet I, 2002 Mansur Ahmad Suryanegara,Menemukan Sejarah Rencana Pergerakan Islam di Indonesia,Mizan Cet IV, 1998

Rabu, 06 Oktober 2010

WWW.VIVANEWS.COM

Sabtu, 2 Oktober 2010 | 17:21 WIB
Nasional, Jawa Timur
Umat Ahmadiyah Tetap Salat di Masjid Terbakar: Traumatis tidak, tapi pasti terganggu. Ibadah tidak mungkin ditinggal
Sabtu, 2 Oktober 2010, 15:51 WIB
Antique, Dwifantya Aquina

Jemaah Ahmadiyah di Surabaya (www.perisai.net)
VIVAnews - Jemaah Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik,Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, tetap menjalankan ibadah di mesjid yang dibakar massa, Jumat malam kemarin.

"Kami tetap akan menjalankan ibadah di masjid tersebut seperti biasanya," kata Sekretaris Pers Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Zafrullah Ahmad Pontoh kepada VIVAnews.com di Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Sabtu, 2 Oktober 2010.

"Traumatis tidak, tapi pasti terganggu. Ibadah tidak mungkin ditinggal, selama masjid masih layak, tetap akan digunakan untuk beribadah," tambahnya.

Zafrullah juga menegaskan tidaklah benar isu yang menyatakan salah satu anggota jemaah Ahmadiyah telah menusuk warga hingga tewas dan lantas memicu penyerangan dan pembakaran Masjid Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Bogor. "Yang terjadi adalah penyerangan sepihak, tidak ada bentrok. Jadi, peristiwa itu adalah murni penyerangan," ujarnya.

Dia mengakui, saat penyerangan itu terjadi jemaah Ahmadiyah menyelamatkan diri ke rumah kerabat mereka dan tidak ada bantuan evakuasi dari pihak keamanan. "Tidak benar ada evakuasi, jemaah menyelamatkan diri dan berinisiatif ke rumah kerabatnya di desa yang sama," tutur Zafrullah.

Zafrullah menambahkan, peristiwa penyerangan tersebut secara tiba-tiba terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama serangan terjadi sekitar pukul 19.15 WIB oleh 50 orang. Selanjutnya terjadi setengah jam kemudian. Kali ini penyerang bertambah banyak hingga ratusan orang.
Akibat penyerangan itu, selain masjid, lima rumah jemaah Ahmadiyah terbakar bersama satu mobil dan dua motor lainnya. Sementara itu, jemaah Ahmadiyah mengaku telah melaporkan kejadian itu ke Polsek Ciampea hingga dua kali, namun bantuan dari aparat keamanan terlambat dan baru datang 1,5 jam setelahnya. (sj)
Ahmadiyah adalah suatu jamaah (yang mengaku) Islam, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Seorang keturunan bangsawan dari Persia dan Indiapada tahun 1889. Sepeninggal dari pendirinya, kepemimpinan Ahmadiyah diteruskan oleh khalifah-khalifahnya.Sehingga saat ini telah memasuki kekhalifahan yang ke-5, dan pusat dari jamaah ini bertempat di Negara Pakistan. Namun, dikarenakan khalifahnya mendapat ancaman pembunuhan dari penguasa maka semenjak dari tahun 90-an, khalifah Ahmadiyah mengendalikan dirinya dari kegiatannya untuk hijrah ke London. Selain itu, aktivitas keagamaan dari pengikut jamaah Ahmadiyah sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan aktivitas keagamaan umat Islam pada umumnya. Seperti syahadat yang mereka ucapkan, sholat yang mereka kerjakan, kiblat mereka dan kesadaran mereka akan kewajiban puasa, zakat, dan haji, serta rukun iman maupun rukun islam, sama sekali tidak ada bedanya dengan umat Islam pada kebanyakan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh-tokoh JAI seperti KH. Zafrullah Ahmad Pontoh, ( ketua mubaligh JAI ), Dudung Abdul Latief ( sekum PB JAI ), Mubarik Ahmad (sekertaris ummur mubaligh JAI ), H. Rahmat Syukur Maskawan (sekertaris ummur Ammah bagian umum PB JAI ), dan masih banyak lagi yang lainnya. Menuirut pengakuan mereka syahadat serta Al-Qur’an adalah kitab suci, bukan tadzkirah yang hanya merupakan sebuah kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad yang di tulis oleh muridnya. Serta pemahamannya tentang Nabi Muhammad SAW, beliau merupakan “Khataman Nabiyyin, tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW”. Selain daripada itu, aqidah Ahmadiyah bermuara kepada rukun Islam yang 5 dan rukun iman yang 6, yang umumnya menjadi element utama Islam. Menurutnya, mesjid adalah rumah Allah, dimana mesjid merupakan tempat untuk memuliakan dan mengagungkan Asma Allah. Sehimngga jamaah Ahmadiyah dapat beribadah (shalat), di mesjid mana saja yang dibangun oleh siapa saja, oleh pemerintah atau pun oleh masyarakat dan begitu pun sebaliknya. Dalam teologi Ahmadiyah, merujuk pada hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, “ Seluruh permukaan bumi ini adalah mesjid kecuali kuburan dan kamar mandi,” (HR. Tirmidzi).

Pertama kali Aliran Ahmadiyah masuk dan berkembang di Indonesia sejak tahun 1920-an, sudah menuai pro dan kontyra yang berkepanjangan. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan Ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah di Jakarta pada tahun 1933 sampai Indonesia merdeka pun konflik antara Ahmadiyah dan kelompok Islam lainnya makin meruncing. Namun pada tahun 1953 pemerintah mengesahkan jamaah Ahmadiyah sebagai Badan Hukum Republik Indonesia. Adapun masyarakat yang pro terhadap aliran ini di antaranya adalah Lamardy. Lamardy (63) salah seorang pimpinan Ahmadiyah, ia sendiri terlibat di Ahmadiyah karena sudah turun temurun dari pihak keluarganya sendiri. Lamardy menyakini Ghulam Ahmad merupakan seorang Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan alasannya ia menyatakan hal demikian karena berdasarkan sejarah pula bahwa kehadiran Nabi memang kerap di tolak oleh kaumnya seperti halnya Nabi Isa saja di kejar-kejar mau di bunuh dan di salib. Belajar dari sejarah itulah kebanyakan kaum Ahmadi menganggap hal ini biasa terjadi pada seorang Nabi. Kemudian menurutnya, pemahaman dari para ulama lah yang membuat penafsiran Al-qur’an menjadi salah, dan hanya tafsiran Ahmadi yang terbaik. Sedangkan mengenai kehadiran kitab tadzkirah menurutnya merupakan kumpulan wahyu dari 84 buku yang pernah diterbotkan oleh Ghulam Ahmad yang di baharui oleh muridnya setelah wafatnya Ghulam.
Selain itu, di Yogyakarta puluhan orang di aliansi Yogya untuk Indonesia Damai (Aji Damai) menggelar aksi penolakan pembubaran Ahmadiyah, dengan alasan pembubaran Ahmadiyah telah menyalahi konstitusi, sehingga menimbulkan intimidasi dan kekerasan. Padahal, agama mengajarkan Hak Asasi Manusia terhadap keyakinan mereka yang berhak memilih agama yang sesuai dengan pemikiran mereka tersebut. Serupa hal tiu Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa ia menyesali adanya tindak kriminal terhadap agama sehingga menimbulkan kerugian pada harta-harta yang dimiliki oleh pengikut Ahmadiyah yang tidak bersalah. Masih banyak lagi yang pro terhadap sekte ini. Oleh karena itu perlunya bukti-bukti yang memperkuat aliran mereka bukanlah aliran sesat harus di segera di adakan forum diskusi terbuka agar perihal ini dapat segera diselesaikan tanpa adanya kekerasan.

Bedasarkan kelompok pro ini mereka membuktikan bahwasanya ibadah yang dilakukan oleh jamaah Ahmadi tidak jauh berbeda dengan ibadahnya umat Islam lainnya. Namun, jika di teliti kembali terhadap Al-Qur’an yang mereka miliki memang ada perbedaan yang signifikan dalam memberikan petunjuk manusia kedepannya maka akan cepat pengaruhnya pada aspek kehidupan manusia sebagai pengikutnya. Akan tetapi, zakat, puasa, serta haji yang dilaksanakan belum tentu benar adanya kesamaan 100 % seperti halnya yang diisukan haji yang mereka laksanakan terdapat di India bukan di Mekkah Al-Mukaromah.

Adapun perihal kemunculan aliran Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan kemncula-kemunculan aliran yang terdahulu sebelum mencapai titik kesempurnaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW hal ini disebabkan oleh faktor kecerdasan yang di miliki oleh tiap pendiri aliran yakni kecerdasan Intelektual, kecerdasan Emosional, kecerdasan Ketidakpuasan, kecerdasan Kultural, kecerdasan Kompetisi. Namun kesamaan yang mereka miliki sudah pasti ada perbedaannya seperti halnya suatu aliran pasti memiliki sebab-sebab dalam mendirikan suatu keyakinan yang aka diikuti oleh pengikut nantinya. Berdasarkan pemikiran mereka masing-masing banyak kelompok Islam pada saat ini diantaranya NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnyaatas dasar ijtihad dari pendirinya sebagai sarana memberantas bid’ah dan khurofat yang pada saat itu masih terasa kental di masyarakat. Akan tetapi tidak demikian dengan Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad tersebut, atas dasar pengakuan dirinya bahwa beliau adalah figur Imam Mahdi yang dikabarkan oleh Rasullullah SAW akan datang di akhir zaman, dengan begitu ia mengklaim dirinya datang atas perintah Allah. Akibatnya kelompok Ahmadiyah ini menimbulkan kontoversi yang sangat besar dan selalu menjadi perbincangan masyarakat yang pro dan yang kontro terhadap sekte ini. Selain itu, perpecahan, serta kebencian dikalangan umat Islam kian memanas tanpa adanya perdamaian dan tidak mewmbeda-bedakan kelompok antar agama. Padahal, Islam adalah keselamatan, ketentraman, dan kesejahteraan, apabila mereka memahami hal itu dengan menyikapi perbedaan yang di antara kelompok yang mengatasnamakan agama.

Sementara itu, perspektif pendidikan lebih mengutamakan kepada HAM dalam beragama, karena manusia diciptakan sebagai manusia yang sempurna dan memiliki fitrah yang tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun dalam menetukan keinginannya yang di dasari oleh hati yang jernih. Adapun masyarakat banyak yang pro dan kontra sudah menjadi hal yang biasa dalam menentukan sikap hidup yang berbeda. Oleh karena itu, sebagaimana mainstream Islam kebanyakan setiap orang harus mengakui dan menerima suatu kelompok yang sudah terlanju\rmenyabar di berbagai kalangan, perkara benar atau tidaknya suatu kelompok tersebut merupakan soal lain bagi masing-masing pemeluk. Pendidikan yang diberikan merupakan salah satu cara agar manusia mengerti dan memahami hidup dalam bermasyarakat. Sebagaimana dalam pendidikan kita duharuskan memiliki sikap toleransi, saling tolong menolong, dan menghargai. Walaupun, aliran Ahmadiyah dengan Ahlussunnah wal jamaah dan aliran lainnya berbeda tidak harus menjadikan perbedaan tersebut sebagai malapetaka melainkan keindahan yang di anugerahkan pada makhluknya. Justru dengan datangnya aliran-aliran yang di anggap sesat merupakan salah satu project case yang dibiarkan oleh Allah untuk menguji seberapa luhur dan tingginya budi pekerti hamba-hamba Allah yang saleh lagi berilmu pengetahuan dalam mengimplikiasikannya pada segala aspek kehidupan manusi tersebut.

Adapun hal berikut mengenai beberapa orang yang menyatakan kontra terhadap sekte ini. Diantaranya MUI yang menyatakan Ahmadiyah sebaiknya mendirikan agama sendiri karena telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir setelah Nabi Muhammad SAW dan tadzkirah yang mereka buat sebagai kitab suciny serta pergi hajibagi pengikutnya berada di India bukan di Mekkah Al-Mukarromah. Sehingga hal tersebut berdasarkan keputusan Munas telah ditetapkanbahwasanya aliran Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Sehingga pembubaran aliran ini lebih baik daripada membiarkannya. Oleh karena itu, bagi kita yang tidak menginginkan adanya pembentrokkan sesama umat Islam walaupun beda ajarannya tetap saja jangan semena-mena untuk memaksa kehendak kita terhadap HAM yang berlaku pada konstitusi.

Selain itu, terdapat pula di Yogyakarta 35 kiai dan tokoh ormas Islam berkumpul menadatangani pernyataan sikap mendukung keputusan badan koordinasi pengawasan aliran kepercayaan masyarakat (Bakor Pakem) yang melarang sekte ini melakukan kegiatannya karena menyimpang. Dengan demikian pro dan kontra akan terus menghiasi terhadap aspek kehidupan dalam bermasyarakat di modern ini.

Berdasarkan fakta yang terlihat secara kasat mata bahwasanya Ahmadiyah merupakan suatu aliran yang salah dalam penyebarannya yang dilakukan oleh pendirinya, sehingga memunculkan pro dan kontra yang berkepanjangan. Dengan begitu, orang-orang yang menganut ajaran ini mendapatkan kekerasan tanpa mengetahui apa salah mereka. Hal ini mewajibkan kita sebagai umat Islam yang baik sebelim kita mengecam suatu aliran sesat atau menyesetkan diperlukan halnya suatu penelitian melalui pelajaran yang kita pelajari dari berbagai jendela dunia (buku). Seperti, mempelajari literatur mereka diantaranya adalah:
1. Bagaimana syahadat mereka.
2. Bagaimana tatacara sholat, zakat, puasa dan haji mereka.
3. Bagaimana pandangan mereka terhadap Rasullullah SAW.
4. Bagaimana pandangan mereka terhadap Al-Qur’an.
5. Bagaimana rukun iman dan Islam mereka.
Cara ini cukup mudah sekali, yang di ajarkan Rasullullah pastinya. Bahwa memang ada perbedaan tafsir antara Ahmadiyah dengan Alqur’an yang langsung di utus kepada Nabi Muhammad SAW.






Simpulan
Ahmadiyah merupakan suatu aliran yang mengaku Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Aliran ini memiliki cukup besar pengikut jamaah sekte tersebut banyak kelompok Islam yang ada mendirikan suatu aliran atau organisasi berdasarkan ijtihad, akan tetapi Ahmadiyahmengaku atas dasar perintah Allah SWT. Namun, jika mempelajari dari sejarah suatu aliran maka tidak akan ada bentrokkan ataupun perpecahan dalam kekerasan yang di alami oleh orang-orang yang tidak memiliki salah. Oleh karena itu, semua ornag yang hidup di bumi ini berhak bebas dalam memlih agama serta bebas berapresiasi terhadap agama yang di anut oleh mereka masing-massing.

Keterangan:

• Paragraf Pertama Deduktif
• Paragraf Kedua Narasi
• Paragraf Ketiga Deduktif
• Paragraf Keempat Induktif
• Paragraf Kelima Deduktif
• Paragraf Keenam Eksposisi
• Paragraf Ketujuh Non Linier
• Paragraf Kedelapan Induktif
• Paragraf Kesembilan Campuran